Kedudukan Akal Dalam Islam (1/3)

Kedudukan Akal Dalam Islam (1/3)

Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Lalu bagaimana kedudukan akal di dalam Islam?

Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu akan ditolak.

Dengan pengkultusan pada akal inilah, maka manusia menolak seruan para rasul, karena para rasul mengajak manusia untuk mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, maka terjadilah pertarungan diantara para pengikut rasul dan para penentangnya.

Para pengikut rasul mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, adapun para pengikut iblis maka mereka mendahulukan akal diatas semua wahyu!

Karena inilah kita melihat begitu banyak orang-orang awam yang pendek akalnya, sedikit ilmunya, dan lemah pandangannya terkena virus pengkultusan akal ini.

Begitu sering kita mendengar seorang yang jahil memprotes Sunnah Nabi!

Begitu sering kita mendengar seorang yang dungu menentang nash syar’i yang mutawatir!

begitu sering kita mendengar seorang yang baru belajar agama dengan lantang menolak aqidah-aqidah yang baku!

Dalam keadaan mereka ini semua menganggap diri-diri mereka pakar-pakar agama yang jempolan!!

Bahkan mereka kini dielu-elukan oleh manusia dengan sebutan-sebutan yang mentereng; Ustadz…Pemikir…Mujaddid…Filosof…Cendekiawan…dan sebutan-sebutan lain yang kosong dari hakekatnya.

Melihat ini semua, kami memohon taufiq kepada Allah untuk menjelaskan kedudukan akal secara syar’i sekaligus membantah dan mematahkan syubhat-syubhat para pendewa akal ini.

1 Definisi Akal

Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.1

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

‘Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.2

Syaikh Al Albani berkata,

“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”3

Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata,

”akal ada dua macam yaitu : thabi’i dan diusahakan. Yang thabi’i adalah yang datang bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan menangis bila tidak senang.

Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan.

Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya.

Hal ini menunjukan bahwa akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.4

2 Pemuliaan Islam Terhadap Akal

Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :

1.       Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.

Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : ,

“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal”, (Al Baqarah : 184),

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Jumu’ah : 9).

2.       Islam melarang manusia untuk taklid buta kepada adat istiadat dan pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam firman Allah,

Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?(QS. Al Baqarah : 170).

3.       Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut ilmu sebagaimana dalam firman Allah,

”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At Taubah : 122).

4.       Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga akalnya, dan melarang dari segala hal yang dapat merusak akal seperti khomr, Allah berfirman,

“Hai, orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah, 90).

3 Ruang Lingkup Akal Dalam Islam

Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai hakekat segala sesuatu.

Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah syar’i walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu.

Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam,

Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).

Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda,

”Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.5

Allah berfirman,

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah,”Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85).


Catatan Kaki

1 Lihat Lisanul Arab, 11/458 dan Bughyatul Murtaad, hal. 249.

2 Bughyatul Murtaad, hal. 250-251.

3 Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H hal. 24.

4 Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2 / 502-504.

5 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam silsilah shahihah: 1788. 0″ sty tx [ion: underline; color: rgb(210, 99, 2); “>Adapun Ahli Sunnah mengatakan bahwa landasan agama adalah Ittiba’ sedangkan akal sebagai pengikutnya. Seandainya agama didasarkan pada akal, maka sungguh para makhluk tidak butuh kepada wahyu, tidak butuh kepada para nabi, hilanglah makna perintah dan larangan, dan setiap orang akan mengatakan apa yang dia mau.

Jika kita mendengar sesuatu dari perkara-perkara agama, kemudian kita bisa memahaminya dengan akal kita, maka kita bersyukur kepada Allah atas Taufiq-Nya. Jika akal kita belum sampai kepadanya, maka kita beriman dan membenarkannya.

Maka kita memohon taufiq dan keteguhan kepada Allah, semoga Allah mewafatkan kita diatas agama Rasulullah dengan anugerah dan kemurahan-Nya28


Catatan Kaki

23 Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam, 5/338.

24 Al Aqlaniyyun, hal. 175.

25 Al Hujjah fi Baynil Mahajjah, 2/509.

26 Muttafaqun Alaih.

27 Shawa’iq Mursalah, 3/1053,1065.

28 Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 1/317.

(Sumber : v.baitullah.or.id)

Tinggalkan komentar